Semua sungai pulang ke laut, di Sawarna…

4 Feb

Terinspirasi dari cerita Firasat dalam karya Rectoverso Dee, saya teringat moment saat “semua sungai pulang ke laut”. Muara sungai, saya pernah menyebranginya.. Sesaat ingatan saya kembali ke saat itu:

Desa Sawarna, kecamatan Bayah, kabupaten Lebak, Jawa Barat..
Di akhir Nov 2008, saya dengan beberapa travelmates menghabiskan 4 hari di Sawarna.

———————–

Tempat ini terkenal untuk surfing, namun bagi kami, desa ini memiliki lebih dari sekedar laut.  Meskipun ia juga punya bukit, goa, hutan, sungai, muara, sawah, pantai, bintang jatuh, ombak setinggi 8 meter di sekitar bulan Maret, desa ini menyimpan lebih dari itu.. Apalagi bagi saya, ini adalah penghantaran menuju pertanyaan kontemplasi mengenai arti hidup yang sampai sekarang msh abu-abu.

Kami tinggal di keluarga nelayan. Bapak pergi melaut. Ibu di rumah memasak untuk kami. Ikan segar yang Bapak tangkap, digoreng oleh Ibu dan disajikan untuk kami makan pake sambel. Sambel buatan Ibu tiada duanya di dunia ini.

Tinggal bersama keluarga Pak Ade

Tinggal bersama keluarga Pak Ade

Setelah explore pantai, gunung, dan lelah berfoto, suatu siang, kami pulang dengan perut keroncongan minta diisi. Nasi putih, ikan goreng, labu cah tauge, sambal, kerupuk, air putih. Rasanya saya jarang makan sesederhana namun senikmat itu. Entah masakan Ibu yang memang selalu enak, atau kami yang selalu makan dalam keadaan kelelahan dan sangat lapar.

Siang itu, saya makan dengan terburu-buru seolah takut kucing peliharaan Ibu loncat ke meja makan untuk mengambil ikan yang belum sempat saya habiskan dagingnya. Saya sendiri pun tidak sadar bahwa saya berlaku aneh dengan menyodorkan piring minta tambahan nasi karena saya hampir tidak pernah nambah nasi. Piring kedua pun habis dengan cepat. Seingat saya, belum pernah saya makan secepat itu. Atau selapar itu, lalu sekenyang itu.

Sambal ter-enak sedunia

Sambal ter-enak sedunia

Jangan lihat2 ikan gw!

Jangan lihat2 ikan gw!

Setelah makan, kami mengambil posisi nyaman masing-masing. Saya memilih untuk membentangkan kasur lipat di teras, dan berbaring di sana menghadap ke pantai sehingga saya dapat melihat pohon kelapa melambai riang ketika saya membaringkan kepala saya ke lantai, angin sepoi-sepoi menambah nikmatnya dunia saat itu..

)

Ga butuh kata2. Lihat, dengar, dan rasakan.. Datanglah ke Sawarna 🙂

Aahh.. Damainya.. Akhirnya saya tidur-tiduran, namun tidak dapat benar-benar tidur karena terkadang Bapak-bapak nelayan lewat di depan rumah, atau Ibu tetangga yang bertandang ke rumah ngobrol dengan Ibu.

Domba sama biri2 sama ya?

Domba sama biri2 sama ya?

Dengan mata terpejam, saya berpikir dan merenung..

Alangkah enaknya hidup Bapak dan Ibu di sini. Bapak melaut menangkap ikan, sudah cukup untuk menghidupi keluarga secukupnya untuk membeli minyak goreng, bayar listrik, dan air. Padi, jagung, lauk sudah tersedia, tinggal dipanen saat sudah tiba waktu panen dan dijual sisanya. Bapak pulang dari melaut, makan masakan Ibu. Tidur siang. Malam pergi melaut lagi. Setiap hari begitu, tidak perlu memusingkan yang lain. Hanya perlu waspada saat angin dan ombak tidak bersahabat. Selain itu semua sudah disediakan Tuhan. Butuh apalagi?

Rasanya saya sudah tidak butuh apa-apa lagi saat bisa kelelahan lalu makan kenyang, dan tidur siang di desa yang tenang ini, sambil mendengar deburan ombak 200meter di depan saya, bercampur dengan suara pohon kelapa dan suara biri-biri yang lewat digiring oleh gembalanya. Ga perlu laptop, ga perlu internet, ga perlu TV, dan saya ga perduli dengan yang terjadi di dunia saat itu. Kecuali bila negara lain hendak ‘mengambil alih’ desa itu juga, tempat saya sudah tidak memerlukan semuanya lagi.

Di kota, orang mencari uang. Saat lelah, pencarian bermuara di mall, club, atau pekerjaan, seperti juga halnya saya. Belanja seolah bisa mengguyur haus kedamaian itu. Kesendirian saat duduk minum bir kadang sudah menjadi hal yang sangat menyenangkan, tidak perlu yang muluk-muluk, apalagi ikan goreng dan sambal. Punya banyak uang memang perlu, namun rasanya perasaan seperti yang sedang saya alami saat itu tidak dapat dibeli oleh uang milik orang-orang kaya itu. Paling banter juga mereka punya villa di puncak. Tapi masakan lezat Ibu yang maknyus ini, kasian yang tidak bisa menikmatinya. Ahh.. Yah.. memang Tuhan itu adil, masing-masing orang memilih dunianya masing-masing, dengan kebahagiaan masing-masing.

Pak Ade dan keluarganya menghayati arti hidup sebagai keluarga nelayan. Seorang yang lain menghayati hidup untuk mengejar karir. Seorang yang lain lagi menghayati hidupnya sebagai seorang pengusaha sukses. Yang lainnya masih terombang-ambing..

Apa arti hidup bagi saya? Saya belum tahu.. Sepulang dari Sawarna, saya membawa pulang pertanyaan ini. Mungkin akan saya baru dapat menemukan jawabnya di waktu dan tempat yang lain..

Lalu, bagaimana dengan Anda? Anda sendiri yang tahu jawabannya..

Selamat merenung..

—————————————————————————————-

Catatan How & How Much to get there from Bandung:

06.30-07.00 : @Terminal Cicaheum, Bdg
07.00-07.30 : @Terminal Leuwi Panjang
08.00-11.20 :  Leuwi Panjang-Sukabumi, Rp.15.000,- (bis ekonomi, non-AC)
11.45-14.00 : Sukabumi-Pelabuhan Ratu with Bis MKG, Rp.19.000,- (AC)
15.00-17.30 : Pelabuhan Ratu-Sawarna with Elf, Rp.25.000,- + Rp.20.000,- (lewat Simpang Ciawi)
TOTAL = Rp.88.000,- ( more or less. one way)

TOTAL 4 hari 3 malem, include transport, habis Rp. 380.000,-

—————————————————————————————-

For photography, see in my facebook photos.

12 Responses to “Semua sungai pulang ke laut, di Sawarna…”

  1. Adrian Ben February 4, 2009 at 10:12 PM #

    kangen masakannya Ibu…. 😦

  2. dianzt February 5, 2009 at 4:17 AM #

    *drooling walau lg mkn cireng skrg* iya, ben.. someday i’ll be there, again.. ah,..

  3. ibnu27 February 8, 2009 at 2:05 PM #

    tar kan ada kata pak ade ada kejuaraan surfing tuh 2010, ksana lg ah..tp kok msh lama bgt yah?! -.-“

  4. dianzt February 8, 2009 at 5:15 PM #

    iy, Nu..msh taon dpn tuh.. haha..

  5. hanhan April 6, 2009 at 4:01 PM #

    wah boleh juga nih kapan2 main kesini….. 😀

  6. kuyus April 7, 2009 at 12:03 PM #

    wah. mantap kali jalan jalannya ..

  7. Huang April 11, 2009 at 1:09 AM #

    Din, sejak kapan kw suka travel n fotografi?

  8. dianzt April 15, 2009 at 12:06 PM #

    hehe, holahooo.. sejak kpn y, mgkn sejak kuliah kali y, haha..

  9. Aris Setiawan October 12, 2009 at 8:13 AM #

    Th 1993 sy pernah ke sawarna, tp saya lupa dg Pemilik rumah,….Kira-kira..tahun Ini mobil bisa masuk samapai desa tepi pantai gak….? karena waktu itu yg bisa lewat cuma kendaraan 4wd, karena separuh jalan dari Bayah cuma jalan perhutani…yg cuma Tanah merah..

    Rgds

  10. dianzt October 12, 2009 at 11:20 AM #

    Aris..,

    Skrg mobil udah bisa sampe desa, krn jalan desa udah diaspal, namun jalan ‘menuju’ desa yang sudah diaspal , seingat saya, hanya jalur yang dari Bayah. Jalur dari pertigaan Ciawi masih berbatu2, duduk gemetar gitu lah naik elf juga, tapi bisa lah klo yang lewat mobil jenis taft atau kijang gitu, hehe..

    Namun mobil ga bs sampe tepi pantai, hanya bisa sampai ke jembatan gantung. Untuk ke pantai harus tetap jalan, namun tidak jauh, mgkn sekitar 300-400m. mobil bisa dititip, hubungi saja Pak Ade.. Bila perlu nomornya, minta saja, nanti saya japri..

    Salam..

  11. Aris Setiawan October 13, 2009 at 2:22 AM #

    Dh, Dian,..

    Thx a lot…..Dah hampir 15 tahun gak tau Sawarna…pengin liat batu Layar lagi, dulu kayaknya nginep di rumah penduduk, tp yg kenal teman saya, Boleh deh Contack Numbernya pak Ade, Japri ke Email saya..

    Salam,..

  12. dianzt October 13, 2009 at 12:27 PM #

    hehe.. ok, aku japri ya..
    Btw, lupa nambahin 1 info lagi. sinyal yang bagus di sawarna cm XL (hingga terakhir aku pergi) –> bukan dimaksudkan utk phk promosi pihak manapun.
    Sinyal simpati dan indosat ga ada sama sekali biasanya, harus ke pantai baru ada, itupun kdng putus2.. hehe..

Leave a comment